![]() |
| Oleh: Sarlin, A.Md.Kep (Pegiat Literasi) |
Danone Indonesia akhirnya buka suara terkait sumber air dalam air mineral kemasan merek Aqua yang disebut-sebut berasal dari sumur bor. Sumber air Aqua menjadi sorotan publik setelah inspeksi mendadak (sidak) Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke pabrik PT Tirta Investama (Aqua) di Subang viral di media sosial.
Pihak Danone Indonesia menjelaskan bahwa pernyataan sebelumnya mengenai sumber air Aqua belum lengkap. Melalui keterangan tertulis, Danone menegaskan bahwa air Aqua tidak berasal dari sumur bor biasa.
“Air Aqua berasal dari 19 sumber air pegunungan yang tersebar di seluruh Indonesia,” kata pihak Danone Indonesia dalam keterangan resminya, Kamis (23 Oktober 2025), dikutip dari Tempo.
Air adalah sumber kehidupan. Namun ironisnya, dari ribuan mata air di negeri ini, banyak yang justru dikuasai oleh perusahaan besar. Fenomena ini mencuat setelah polemik mengenai sumber air yang digunakan oleh perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) Aqua milik Danone Indonesia menjadi sorotan publik.
Polemik semakin ramai setelah Indonesia Halal Watch (IHW) mengingatkan bahwa perusahaan dapat terancam sanksi berat jika terbukti menyalahi izin atau merugikan masyarakat dalam pengelolaan sumber air. Bahkan, pakar hidrogeologi turut menyoroti dampak pengambilan air tanah dalam skala besar yang dapat menyebabkan turunnya muka air tanah, hilangnya mata air sekitar, serta kerusakan ekologis jangka panjang.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat di sekitar area industri air minum justru kesulitan mengakses air bersih, terutama saat musim kemarau. Ketika perusahaan mampu memproduksi jutaan liter air setiap hari untuk dijual, warga sekitar lokasi sumur bor harus menunggu bantuan air tangki atau bergantian mengambil air dari sumber yang semakin kering.
Fenomena kapitalisasi air ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan nyata dari sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Dalam sistem ini, segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomi, termasuk sumber daya alam, dapat diprivatisasi dan dijadikan komoditas demi keuntungan sebesar-besarnya.
Pengambilan air secara besar-besaran menggunakan sumur bor industri tidak hanya mengganggu keseimbangan ekologi, tetapi juga mengancam ketersediaan air untuk masyarakat sekitar. Akibatnya, permukaan air tanah menurun, mata air mengering, dan tanah berisiko amblas.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki paradigma tegas dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menunjukkan bahwa air adalah milik umum, bukan milik individu maupun korporasi. Karena itu, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan sumber air kepada pihak swasta, apalagi kepada perusahaan asing.
Dalam sistem Islam, air dikelola langsung oleh negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Negara berkewajiban memastikan seluruh warga memiliki akses yang adil terhadap air bersih tanpa menarik biaya distribusi atau pemeliharaan fasilitas dasar tersebut.
Selain itu, negara dalam sistem Islam akan memperketat pengawasan terhadap aktivitas industri yang berpotensi merusak lingkungan. Setiap pelanggaran yang menyebabkan kerusakan ekologis akan dikenakan sanksi tegas, karena merusak alam berarti menzalimi manusia.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa problem kelangkaan air dan monopoli sumber daya alam tidak akan terselesaikan dalam sistem kapitalisme. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, pengelolaan sumber daya alam dapat kembali berorientasi pada kemaslahatan umat, bukan keuntungan segelintir pihak.
Wallahu a’lam
