![]() |
Oleh: Retri Aulia (Aktivis Dakwah Kampus)
|
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali mencuat di Indonesia. Publik dikejutkan dengan kasus tragis yang melibatkan aparat kepolisian: Briptu Rizka membunuh suaminya, Brigjen Esco, dengan bantuan lima pelaku lain, termasuk kedua orang tuanya (Tribunnews, 17 Oktober 2025). Di daerah lain, seorang suami tega menghabisi nyawa istri, anak, dan adik iparnya akibat pertengkaran rumah tangga (Detik.com, 17 Oktober 2025).
Rangkaian tragedi ini mengindikasikan kerapuhan fondasi moral sebagian keluarga di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga 1 Januari 2025, terdapat 25.680 korban KDRT, dengan 21.959 di antaranya adalah perempuan dan 5.413 laki-laki. Peningkatan angka ini menjadi alarm serius bahwa kekerasan dalam keluarga bukan lagi sekadar masalah personal, melainkan sudah menjadi persoalan sosial dan moral bangsa.
Akar KDRT dapat ditelusuri dari dua sumber utama: faktor internal dan eksternal. Dari sisi internal, banyak pasangan yang membangun rumah tangga tanpa kesiapan mental dan spiritual yang memadai. Pernikahan sering kali hanya dipandang sebagai penyatuan dua individu, bukan sebagai ibadah dan tanggung jawab kepada Allah. Akibatnya, keluarga dibangun di atas dasar cinta sesaat, bukan nilai sakinah, mawaddah, wa rahmah. Lemahnya keimanan dan ketidakmampuan mengendalikan emosi menyebabkan konflik kecil berkembang menjadi kekerasan.
Faktor eksternal seperti perselingkuhan, judi daring, pinjaman daring, minuman keras, serta tekanan ekonomi yang mencekik turut memperburuk situasi. Semua faktor ini menjadi kombinasi berbahaya yang memicu konflik dalam rumah tangga.
UU PKDRT: Macan Ompong & Victim Blaming
Meskipun Indonesia memiliki UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak korban justru mengalami victim blaming dan stigma sosial saat melapor, dianggap mempermalukan keluarga atau tidak mampu menjaga keharmonisan rumah tangga.
Aparat penegak hukum pun sering kali meremehkan laporan korban atau mendorong penyelesaian secara kekeluargaan, yang justru memperdalam luka dan membiarkan pelaku bebas dari hukuman. Budaya patriarki, rendahnya literasi hukum aparat, serta ketiadaan sistem perlindungan dan restitusi bagi korban membuat undang-undang ini kehilangan efektivitasnya. Dalam banyak kasus, aparat baru bertindak cepat setelah kasus tersebut viral di media sosial—bukti lemahnya tanggung jawab negara dalam melindungi warganya.
Sekularisme yang Membunuh Iman
Akar masalah sebenarnya bukan hanya lemahnya hukum, melainkan juga krisis keimanan dan hilangnya keterikatan manusia pada nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari urusan pribadi, sosial, dan politik telah melahirkan generasi yang kehilangan arah moral. Tanpa landasan iman yang kuat, manusia mudah dikendalikan oleh hawa nafsu dan emosi, terutama saat menghadapi tekanan dalam rumah tangga.
Padahal, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana membangun keluarga yang berlandaskan kasih sayang, tanggung jawab, dan ketakwaan. Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku” (HR. At-Tirmidzi). Hadis ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan pedoman sosial bahwa keharmonisan keluarga lahir dari kebaikan dan keteladanan.
Solusi Sistemik
Menyelesaikan persoalan KDRT tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Diperlukan pendekatan sistemik dan spiritual yang menyentuh akar masalahnya. Pertama, negara harus hadir secara nyata sebagai pelindung rakyat. Penegakan hukum terhadap pelaku KDRT harus tegas dan konsisten tanpa pandang bulu, serta diiringi dengan sistem pendampingan dan pemulihan psikologis bagi korban. Negara juga perlu membangun lembaga khusus dengan sumber daya manusia yang memahami aspek psikologis, sosial, dan spiritual korban, bukan sekadar menindak secara administratif.
Kedua, pendidikan pranikah wajib diperkuat dan disinergikan dengan lembaga keagamaan. Calon suami-istri harus dibekali dengan pemahaman mendalam tentang hak, kewajiban, adab berumah tangga, serta keterampilan komunikasi dan pengendalian emosi. Kementerian Agama bersama lembaga pendidikan dapat menjadikan bimbingan pranikah ini sebagai program wajib dengan pendekatan yang lebih aplikatif dan berbasis nilai-nilai Islam.
Ketiga, peran keluarga dan masyarakat perlu dihidupkan kembali sebagai benteng pertama pencegah kekerasan. Orang tua hendaknya menjadi teladan dalam memperlakukan pasangan dengan hormat dan kasih sayang, karena anak belajar tentang hubungan dari apa yang mereka saksikan di rumah. Masyarakat juga harus menjalankan fungsi kontrol sosial yang sehat, tidak menormalisasi kekerasan dengan alasan “urusan rumah tangga”, tetapi berani menasihati dan membantu korban tanpa menghakimi.
Keempat, penguatan ekonomi keluarga juga tidak kalah penting. Banyak kasus KDRT dipicu oleh tekanan ekonomi dan kesenjangan peran dalam rumah tangga. Oleh karena itu, negara perlu memperluas program pemberdayaan ekonomi berbasis keluarga, negara akan menyediakan lapangan pekerjaan untuk kepala keluarga.
Dalam perspektif Islam, rumah tangga bukan sekadar tempat tinggal, melainkan institusi pendidikan pertama bagi pembentukan akhlak generasi. Seorang suami dituntut untuk menjadi pemimpin yang adil dan penyayang, sedangkan istri menjadi pendamping yang menjaga kehormatan dan keharmonisan keluarga. Relasi ini bukan hubungan kekuasaan, tetapi kemitraan yang saling melengkapi dalam ketaatan kepada Allah. Maka, solusi hakiki dari maraknya KDRT terletak pada kembalinya keluarga kepada nilai-nilai iman dan syariat Islam yang sempurna, yang mengatur seluruh aspek kehidupan dari cara bersikap dalam rumah tangga hingga sistem hukum yang menegakkan keadilan.
Dengan menguatkan iman, memperkuat pendidikan keluarga, membangun sistem hukum yang tegas, serta memastikan peran negara dan masyarakat berjalan sesuai tuntunan syariat, kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya bisa dikurangi, tetapi dapat dicegah sejak akar. Keluarga yang berlandaskan iman dan akhlak akan menjadi pondasi kuat bagi terwujudnya masyarakat yang damai, beradab, dan diridhai Allah SWT.
Alasan Perubahan:
- Struktur Kalimat: Beberapa kalimat diubah untuk meningkatkan kejelasan dan kelancaran bacaan.
- Diksi: Pemilihan kata diperbarui agar lebih sesuai dengan konteks dan lebih mudah dipahami.
- Konsistensi: Gaya penulisan diselaraskan di seluruh teks untuk menjaga konsistensi.
- Italic: Penggunaan huruf miring untuk istilah asing atau yang perlu penekanan.
Semoga tulisan ini menjadi lebih baik dan bermanfaat!
